sistem politik Indonesia
REVIEW BUKU
0LEH
KELOMPOK 111
BAB III
Fungsi Sistem Politik
Nama : Andi nurdaisna
Nim : C1E121103
Kelas : ilmu politik (A)
A.IDENTITAS BUKU
o Judul :SISTEM POLITIK INDONESIA
o Penulis :Dr.Sahya Anggara,M.Si.
o Penerbit:CV PUSTAKA SETIA
o ISBN :978-979-079-411-8
o Tahun terbit dan cetakan:November 2013
o Ukuran :16x24 cm
o Tebal buku:xiii +364 halaman
A. Pengertian Sosialisasi Politik
Dalam sistem politik terdapat beberapa fungsi, di antara fungsi yang paling dominan adalah fungsi sosiologi politik. Sosialisasi politik merupakan cara untuk memperkenalkan nilai-nilai politik, sikap dan etika politik yang berlaku atau yang dianut oleh negara. Sosialisasi politik dapat diartikan sebagai proses yang dilalui seseorang dalam menentukan sikap dan orientasi terhadap fenomena- fenomena politik yang berlaku pada masyarakat tempat ia beradasaat ini. Tujuan Sosialisasi Politik Sosialisasi politik yang diselenggarakan negara mentransformasi nilai-nilai yang menjadi pola keyakinan dan pola kepercayaan yang dapat membawa bangsa ke arah kebesarannya. Oleh karena itu, tujuan sosialisasi politik dapat dilihat dari beberapa dimensi, yaitu:
1.dimensi psikologis;
2.dimensi ideologis;
3. dimensi normatif.
Ketiga dimensi ini memberi dampak saling berkaitan yang sasaran antara, karena sasaran akhir adalah stabilitas berkesinambungan dalam arti lestarinya sistem politik berikut
sistem nilai yang mendasarinya.
Dimensi pertama sosialisasi politik terarah pada pembentukan
sikap politik dan kepribadian politik, yang secara utuh merupakan faktor-faktor kejiwaan. Dalam proses ini berlangsung secara bertahap dalam rangkaian peristiwa politik, hal ini berawal dari tingkat pemahaman atau pengenalan tentang politik (political cognation). Kemudian meningkat pada pendalaman akan makna politik yang memberi dampak terhadap cara berpikir yang membuka cakrawala terhadap referensi pikiran. Tahap ini berada dalam sikap efektif (political effection). Pada tahap ini pribadi-pribadi manusia telah memiliki “pilih banding sesuai dengan yang diminati”. Penghayatan yang terus berlanjut diiringi keyakinan maka akan terbentuk Fungsi Sistem Politik88 kepribadian politik (political personality) yang dapat diketahui dalam wujud perilaku dan sikap politik (political behavior). Tahap
ini telah berada dalam tahap “psychomotoris” atau berada pada kematangan politik (political maturity). Pada tahap ini pelestarian sistem politik sekaligus sistem nilainya telah dapat didekati karena mereka telah berada dalam kondisi adaptasi terhadap nilai-nilai
yang berlangsung.
Dimensi kedua adalah dimensi ideologis. Dimensi ini sebagai proses penerimaan terhadap ideologi yang telah menjadi pola keyakinan. Simbol-simbol politik telah diinterpretasikan ke dalam simbol-simbol keyakinan politik. Pada dimensi ini, ideologi telah menjadi nilai-nilai yang memedomani sikap perilaku kehidupan bernegara sehingga pengaruh-pengaruh kontemporer tidak memberi makna yang berarti. Dimensi ketiga, yaitu dimensi normatif, menunjukkan kondisi terintegrasinya sikap mental dan pola pikir dalam sistem norma yang berlaku. Norma menunjukkan kaidah-kaidah yang dibentuk penguasa dan kaidah-kaidah yang berkembang dalam masyarakat. Apabila ketiga dimensi tersebut telah dapat diwujudkan, sasaran antara atau tujuan antara sosialisasi politik telah berhasil dan upaya pelestarian sistem politik, sistem nilai dapat didekati. Upaya pelestarian sistem politik pada umumnya dilakukan
dengan berbagai cara. Semua unsur dan fasilitas yang dimiliki negara biasanya dimobilisasikan untuk tercapainya pelestarian tersebut. Pengertian mobilisasi diberi makna netral bukan dalam
konotasi yang berlaku di negara komunis karena makna mobilisasi di negara tersebut terdapat unsur-unsur coersive atau unsur paksa menurut desain paksa penguasa, sedangkan mobilisasi netral menandai terhadap kondisi yang diciptakan melalui suatu proses membentuk alam sadar.
B. Struktur Politik Formal
Dalam sistem politik, struktur dibedakan atas kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ini menurut ajaran trias politica, meskipun tidak banyak negara manerapkan ajaran ini secara murni. Dalam perkembangannya, negara-negara demokrasi modern cenderung menggunakan asas pembagian kekuasaan dibandingkan dengan menggunakan asas pemisahan kekuasaan murni sebagaimana diajarkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Menurut John Locke, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif. Masing-masing kekuasaan ini terpisah satu dengan yang lain. Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, sedangkan kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan melaksanakan undang-undang, termasuk di dalamnya kekuasaan mengadili. Sementara itu, kekuasaan federatif merupakan kekuasaan yang meliputi segala tindakan yang ditujukan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain, seperti membuat aliansi dan sebagainya.
Montesquieu menyempurnakan ajaran trias politica ini dengan membagi kekuasaan pemerintahan menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif merupakan kekua- saan membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang mempunyai kewenangan untuk mengadili pelanggaran undang-undang.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi negara tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa kekuasaan negara disusun atas ajaran trias politica. Namun, apabila dilihat secara saksama, ajaran trias politica ini menjadi dasar bagi pembagian ke- kuasaan di Indonesia. Dalam hal ini, kekuasaan negara dibagi secara seimbang dan adanya checks and balances. Checks and balances di antara penyelenggara negara ini dimanifestasikan dalam wujud:
1. pembuatan undang-undang yang memerlukan persetujuan DPR, DPD, dan presiden yang masing-masing mempunyai kewenangan veto;
2. pengawasan dan impeachment oleh lembaga-lembaga legislatif terhadap presiden;
3. judicial review oleh Mahkamah Konstitusi terhadap undang-
undang dan produk di bawahnya; daerah otonom yang dapat mengajukan gugatan terhadap
4. keputusan pusat;
5. pengangkatan menteri yang memerlukan pertimbangan DPR.
1. Pemerintahan dan Birokrasi
Dalam sistem politik, pemerintahan dan birokrasi merupakan struktur politik penting karena menyangkut pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan. Menurut Almond dan Powell, Jr., agen- agen pemerintahan meskipun terspesialisasi dalam banyak cara adalah multifungsional, Agen-agen eksekutif membuat kebijakan, memperkuat dan mengambil keputusan-keputusan; agen-agen legislatif berpartisipasi dalam implementasi kebijakan seperti halnya partisipasi yang mereka lakukan dalam membuat kebijakan.
Lembaga pemerintahan didukung oleh para eksekutif politik (political executive), yang mempunyai banyak nama dan title. Beberapa eksekutif disebut sebagai presiden, tetapi berbeda dalam hal kekuasaan yang mungkin mereka laksanakan dan fungsi-fungsi yang mereka tampilkan. Sementara yang lainnya disebut sebagai perdana menteri. Eksekutif politik juga mempunyai nama kolektif, seperti kabinet, dewan menteri, politbiro atau presidium. Di banyak negara, eksekutif politik ini mempunyai nama-nama yang berbeda, tetapi peran dan fungsinya kurang lebih sama.
Indonesia, setelah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan setelah mengalami amandemen, menganut sistem pemerintahan presidensial, yaitu presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa lima tahun. Pasal 6 A ayat (1) menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat; dan Pasal (2) menyebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Selanjutnya, Pasal 7 A menyebutkan bahwa "Presiden dan/ atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden.
Dengan Amandemen UUD 1945 ini, terjadi perbedaan antara era reformasi dan era Orde Baru. Pada masa Orde Baru ketika UUD 1945 belum diamandemen, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam hal ini, presiden merupakan mandataris MPR. Oleh karena itu, presiden harus mempertanggungjawabkan kekuasaan kepada MPR pada masa akhir jabatannya. Dalam hal ini, MPR merupakan cermin kedaulatan rakyat, yang sebagian besar diangkat oleh presiden. Dengan begitu, presiden mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Inilah yang menjadi salah satu penyebab Soeharto mampu mempertahankan tampuk kekuasaannya selama lebih dari tiga dekade. MPR yang sebagian besar dipilih presiden akan cenderung memilih Presiden Soeharto secara terus-menerus, bahkan ketika arus besar massa rakyat tidak lagi menghendaki Soeharto menjadi presiden pada Pemilu 1997. Akibatnya, MPR tidak lagi menjadi cermin aspirasi rakyat, tetapi menjadi cermin aspirasi kelompok-kelompok elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan, yang pada masa Orde Baru adalah Soeharto dan kroni-kroninya.
Situasi semacam ini juga terjadi ketika pemilihan umum 1999. Pada masa ini, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR. Namun, ironisnya partai pemenang pemilu justru gagal menempatkan calonnya sebagai presiden. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan partai-partai kecil yang melakukan koalisi berhasil menggolkan calonnya, yang waktu itu Abdurahman Wahid, menjadi presiden. Kondisi semacam ini sangat mungkin terjadi karena pada akhirnya pilihan terhadap presiden dan wakil presiden akan sangat ditentukan oleh lobby-lobby politik di tingkat elite, yang mungkin saja bertentangan dengan kehendak rakyat. Mengoreksi kesalahan ini, MPR kembali melakukan amandemen UUD 1945. Dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden, amandemen tersebut menghasilkan dua hal penting, yaitu mengurangi kekuasaan MPR dengan hanya berkonsentrasi pada persoalan-persoalan UUD dan tidak lagi memilih presiden dan wakil presiden. Selanjutnya, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Pemilihan langsung ini membuat kedudukan presiden sangat kuat dan hanya bisa dijatuhkan setelah presiden terbukti secara hukum melakukan pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi.
2. Lembaga Legislatif
Pada masa Orde Baru, lembaga legislatif sering dianggap sebagai lembaga yang tugasnya hanya mengesahkan kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga eksekutif. Otoritarianisme politik yang dilaksanakan oleh Soeharto telah memandulkan lembaga legislatif ini dalam melaksanakan fungsinya untuk melakukan pengawasan (checks and balances) terhadap lembaga eksekutif.
Sementara itu, kuatnya hegemoni partai pemerintah, Golkar, dalam sistem politik di Indonesia membuat lembaga perwakilan rakyat yang harusnya melakukan pengawasan terhadap pemerin- tah ini menjadi mandul. Reformasi telah membawa banyak perubahan terhadap lembaga legislatif ini. Jika sebelumnya DPR hanya diisi oleh wakil-wakil dari tiga partai politik, pada masa reformasi setidaknya terdapat lima partai politik besar yang mempunyai wakilnya di DPR. Amandemen UUD 1945 juga telah memberikan ruang ekspresi yang lebih besar kepada lembaga perwakilan ini. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar ini menegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya, dalam Pasal 20 A ayat (1) disebutkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Selain itu, dalam Pasal 20 A ayat (3) disebutkan bahwa selain hak yang diatur dalam pasal-pasal ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat serta hak imunitas.
Selain DPR, konstitusi juga mensyaratkan adanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD ini dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masing-masing provinsi dengan jumlah yang sama. Keseluruhan jumlah anggota DPD ini tidak boleh lebih dari sepertiga dari jumlah anggota DPR. Pada Pasal 22 D ayat (1) disebutkan bahwa "Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah". Selanjutnya, ayat (2) dan ayat (3) pasal yang sama mengatur fungsi-fungsi legislasi dan pengawasan menyangkut hal-hal sebagaimana telah dikemukakan pada ayat 1. Pendeknya, DPD mempunyai fungsi legislasi dan pengawasan berkenaan dengan otonomi daerah, yang dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia diimplementasikan melalui Undang- Undang No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999.
Meskipun jika dibandingkan dengan masa Orde Baru keanggotaan lembaga-lembaga legislatif ini telah banyak mengalami perubahan, terutama berkenaan dengan representasi partai poli- tik, pada kenyataannya lembaga-lembaga legislatif ini belum mampu bekerja secara maksimal. Banyak pengamat mengatakan bahwa anggota-anggota legislatif lebih cenderung mementingkan kepentingan pribadi dan partai-partai politik yang diwakilinya dibandingkan dengan memperjuangkan kepentingan rakyat dan kepentingan nasional dalam pengertian yang luas. Kuatnya orientasi kekuasaan dan kekayaan para anggota legislatif ini telah membuat lembaga ini tidak peka terhadap kebutuhan dan tuntutan rakyat. Jika pada masa Orde Baru, lembaga legislatif dianggap sebagai lembaga yang lemah ketika berhadapan dengan kekuasaan eksekutif, pada masa reformasi, lembaga ini telah dianggap terlampau kuat, tetapi tidak responsif. Kurangnya tradisi oposisi dalam sistem politik Indonesia juga membuat DPR menjadi institusi yang kurang kritis dalam melaksanakan fungsinya untuk mengawasi pemerintah. Kurang memadainya sumber daya manusia yang mereka miliki juga membuat DPR kurang mempunyai inisiatif untuk merancang undang- undang berdasarkan kepentingan masyarakat. Sebaliknya, mereka lebih banyak menunggu inisiatif yang berasal dari pemerintah.
Meskipun demikian, dibandingkan dengan masa Orde Baru, DPR telah mengalami kemajuan dalam hal checks and balances walaupun hasilnya jauh dari yang diharapkan. Beberapa anggota legislatif telah berani mengkritik pemerintah dengan tajam, tetapi sayangnya karena partai politik yang mereka wakili juga mempunyai wakil yang duduk di pemerintahan, yaitu dalam kementerian atau kabinet, kritik-kritik mereka berujung pada hal-hal yang bersifat kompromistis. Bahkan, ada di antaranya yang menguap dan tidak menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Kasus impor beras yang berujung pada munculnya hak interpelasi anggota DPR menjadi contoh mengenai hal ini. Awalnya, hak angket dan interpelasi ini didukung oleh banyak fraksi di DPR, tetapi akhirnya hanya beberapa fraksi yang mendukung hingga akhir dari drama tersebut tidaklah jelas.
3. Lembaga Peradilan
Pilar ketiga pembagian politik menurut ajaran trias politica adalah lembaga yudikatif. Dalam sistem politik demokrasi, peran lembaga semacam ini sangat krusial karena mempunyai kewenangan dalam mengatasi banyak persoalan yang melibatkan lembaga- lembaga negara. Pada masa reformasi, berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan (Pasal 24 ayat (1)). Kemudian, ayat (2) menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam dunia peradilan Indonesia merupakan buah reformasi. Pada Pasal 24 C ayat (1) disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi ini mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang- undang dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang pemilihan umum. Sementara pada ayat (2) disebutkan, "Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar. Selain Mahkamah Konstitusi juga terdapat Komisi Yudisial. Pasal 24 B ayat (1) menyebutkan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Jika dibandingkan dengan masa Orde Baru, berdasarkan Amandemen UUD 1945 jelas bahwa telah terjadi beberapa perubahan dalam struktur kehakiman. Namun, apakah persoalan kinerja lembaga di bidang kehakiman ini telah sesuai dengan amanat reformasi menjadi persoalan yang sama peliknya dengan struktur yang lain. Umumnya, komentar yang ditujukan terhadap lembaga-lembaga peradilan ini sama sinisnya dengan yang dilontarkan terhadap lembaga-lembaga politik. Mereka mempunyai kinerja yang sangat buruk, miskin integritas, dan sangat mudah disuap. Akibatnya, hukum lebih memihak pada kepentingan-kepentingan kekuasaan dibandingkan dengan menegakkan hukum dalam pengertian yang sesungguhnya.
C. Struktur Politik Informal
1. Partai-partai Politik
Partai politik telah menjadi ciri penting politik modern, bahkan menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem politik, baik yang demokratis maupun yang otoriter sekalipun. Dalam hal ini, partai politik mengorganisasi partisipasi politik, dan sistem kepartaian akan sangat memengaruhi batas-batas sampai di mana partisipasi tersebut dapat diperluas. Menurut Huntington, stabilitas, kekokohan partai, dan sistem kepartaian sangat bergantung pada tingkat pelembagaan dan partisipasinya. Partisipasi yang luas yang disertai dengan tingkat rendah pelembagaan partai politik akan menghasilkan politik anomik dan kekerasan. Huntington menegaskan bahwa partisipasi tanpa organisasi akan merosot menjadi gerakan massal, sementara organisasi yang tidak melahirkan partisipasi cenderung mengarah menjadi klik personal.
Dalam sistem politik demokrasi, partai politik biasanya.melaksanakan empat fungsi berikut. Sarana komunikasi politik. Satu di antara sekian banyak tugas partai politik adalah menyalurkan berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat. Partai politik harus responsif terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat untuk kemudian disalurkan pada sistem politik melalui agregasi dan artikulasi kepentingan. Di pihak lain, partai politik juga melakukan diskusi dan penyebarluasan atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
b. Sarana sosialisasi politik. Partai politik merupakan kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah meraih kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Itulah sebabnya hampir setiap partai politik mempunyai ideologi, cita-cita, yang selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk program kerja. Program-program kerja inilah yang ditawarkan kepada masyarakat agar mendukungnya dalam pemilihan umum. Dalam kaitan ini, partai politik membantu sistem politik dalam menyosialisasikan sistem politik dan mendidik anggota- anggotanya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab terhadap kepentingan sendiri dan kepentingan nasional.
c. Sarana rekrutmen politik. Tujuan partai politik adalah meraih kekuasaan. Untuk itu, dilakukan rekrutmen terhadap pemimpin- pemimpin politik yang mampu menopang kekuasaan yang mereka raih.
d. Sarana pengatur konflik. Partai politik berperan dalam menjembatani berbagai konflik kepentingan yang ada dalam masyarakat untuk selanjutnya disalurkan dalam sistem politik. Kestabilan partai politik sangat menentukan tingkat pelembagaan partisipasi dan dengan demikian kemampuan partai politik dalam melakukan manajemen konflik. Sebuah sistem kepartaian yang kokoh dan mempunyai kapasitas akan melakukan setidaknya dua hal, yaitu:
1) melancarkan perluasan peran serta politik melalui jalur partai sehingga menguasai ataupun mengalihkan segala aktivitas politik anomik dan revolusioner;
2) menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi, untuk mengurangi kadar tekanan terhadap sistem politik. Dengan demikian, menurut Huntington, partai politik menyediakan organisasi-organisasi yang mengakar dan prosedur yang melembaga untuk mengasimilasikan kelompok-kelompok baru dalam sistem politik. Dalam kaitan ini, jika pemilihan dan parlemen merupakan perangkat representasi, partai adalah sarana mobilisasi. Partai politik memobilisasi dukungan terhadap partai politik dan orang-orang yang akan duduk di parlemen. Inilah yang membuat partai politik mempunyai peran yang krusial dalam sistem politik modern, baik otoriter maupun demokratis. Bahkan, di negara otoriter seperti negara bekas Uni Soviet, partai politik (dalam hal ini partai komunis) mempunyai pengaruh ke dalam hampir semua kehidupan masyarakatnya.
Pada masa Orde Baru, pertumbuhan partai politik dibatasi sebagai akibat instabilitas yang terus-menerus pada masa demokrasi parlementer awal tahun 1950-an. Dalam hal ini, keberadaan partai politik lebih dianggap sebagai masalah. Oleh karena itu, ruang geraknya dibatasi dan keberadaannya hanya ditujukan sebagai alat legitimasi rezim yang berkuasa, Soeharto. Dalam situasi semacam itu, partai politik tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsinya, selain hanya sebagai alat mobilisasi massa terutama pada masa pemilihan umum. Namun, mereka hampir tidak pernah berperan penting dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat pada sistem politik karena kedudukannya yang hanya sebagai kelompok marginal. Semua keputusan politik penting dilakukan oleh militer dan birokrasi dalam lingkaran elite di tingkat pusat. Partai politik hampir sama sekali tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan. Pada masa reformasi, masyarakat diberi keleluasaan untuk mendirikan partai politik dengan ideologi yang beragam. Pada tahun 1999 terdaftar 141 partai politik di Departemen Kehakiman. Tahun 2002 tumbuh berkembang lagi menjadi 209 partai politik atau ada yang menyebutnya 237 buah. Dari sekian ratus partai politik itu, tidak seluruhnya menjadi peserta pemilu. Pada Pemilu 1999 hanya 48 partai politik yang bisa mengikuti pemilu. Pada pemilu legislatif 5 April 2004, tercatat sebanyak 50 partai politik di Departemen Kehakiman, dan dari jumlah tersebut hanya 24 partai politik yang memenuhi syarat-syarat untuk ikut pemilu. Jumlah ini akan terus mengalami penyusutan sebagai akibat undang-undang pemilu.
Persoalannya kini adalah apakah partai-partai politik telah memainkan peran penting dalam sistem politik sebagaimana diharapkan? Para pengamat tampaknya sepakat bahwa partai- partai politik yang lahir sejak reformasi dicanangkan kurang mampu melaksanakan fungsi politiknya dengan baik. Ini karena partai politik lebih berorientasi untuk memperebutkan kekuasaan dibandingkan dengan melaksanakan fungsi-fungsi politiknya. Bahkan, partai politik dituduh berperan besar dalam melakukan amnesia politik terhadap kekerasan pada masa lampau, dan ini terjadi karena beberapa hal berikut.
Dalam tubuh partai politik mengalir deras semangat pragmatisme politik dan oportunisme. Bahkan, pragmatisme dan oportunisme ini telah tereduksi menjadi prevalence' atau kelaziman individu elite. Dalam situasi seperti ini, solidaritas dipahami dalam pengertian sempit, yaitu semata-mata ikatan kepentingan dan bukan oleh alasan-alasan yang lebih luas. Gejala ini dapat dilihat dari maraknya koalisi partai yang mempunyai ideologi berbeda, bahkan bertentangan pada masa lampau.
Masih adanya kesadaran yang keliru bahwa partai adalah kesatuan orang dengan segala kapentingannya dan kepentingan elite yang dominan dimutlakkan. Persoalan muncul ketika kepentingan elite didahulukan dari kepentingan publik.
Partai politik kurang mempunyai ketegasan dalam hal ideologi. Dalam hal ini, partai politik kurang menanamkan ideologi terhadap kader-kadernya sehingga partai menjadi akumulasi kepentingan politik yang tidak mempunyai platform yang jelas, ataupun visi dan misi yang tepat sasaran.
Partai politik lebih cenderung mempunyai sasaran jangka
pendek dalam bentuk perebutan kekuasaan lima tahunan. Secara empiris, memang terdapat peremajaan partai politik, tetapi aktor-aktor yang berada di belakangnya sebenarnya adalah aktor-aktor lama yang berkecimpung pada masa Orde Baru. Dalam kondisi semacam ini, sulit diharapkan partai politik akan melaksanakan fungsinya secara maksimal, yaitu sebagai lembaga perumus cita-cita politik, mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik, memberikan pencerahan, dan melakukan penggalangan politik masyarakat secara konstruktif serta melakukan pembinaan dan rekrutmen politik. Sebaliknya, yang terjadi adalah format politiknya mengalami perubahan, tetapi pendukung format politiknya masih elite politik lama yang menggunakan 'jubah reformasi". Akibatnya, yang kemudian dirasakan adalah tidak adanya perbedaan antara era sebelum dan setelah bergulirnya reformasi. Pluralitas jumlah partai politik pada kenyataannya tidak sebanding dengan kemampuan mereka dalam melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan publik, yang juga sangat pluralistik.
2. Struktur Politik Informal di Luar Partai Politik
Struktur-struktur politik informal, seperti media massa, kelompok berbasis agama, LSM atau NGO, dan asosiasi profesi telah menunjukkan eksistensinya dalam sistem politik setelah selama lebih kurang 32 tahun ditekan oleh pemerintah. Bahkan, struktur-struktur politik informal tersebut memainkan peran penting dalam melakukan artikulasi kepentingan dan memberikan input yang berharga bagi sistem politik ketika struktur politik formal mengalami kemandegan dan gagal memainkan fungsi yang seharuskan mereka laksanakan. Dengan kata lain, ketika partai politik gagal melaksanakan fungsinya dalam menggalang dan melembagakan partisipasi politik, kelompok- kelompok informal ini menggantikan peran partai politik dengan memobilisasi dukungan dan terlibat aktif dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Dalam kaitan ini, terdapat banyak kebijakan pemerintah yang akhirnya urung dilaksanakan akibat tekanan yang terus-menerus dari struktur-struktur informal ini. Media massa, misalnya, telah memainkan peran dalam melakukan sosialisasi politik dan komunikasi politik. Kemampuannya dalam menggalang opini publik telah membuatnya menjadi kekuatan demokrasi yang penting dalam beberapa tahun belakangan. Diberlakukannya UU No. 40 tahun 1999 telah membuatnya mampu berperan sebagai salah satu pilar demokrasi yang penting. Meskipun beberapa pengamat menaruh keprihatinan yang mendalam sebagai akibat kiprah media massa dalam menggalang opini publik yang menyesatkan, fungsinya yang penting dalam komunikasi dan sosialisasi politik tidak dapat diragukan lagi. Media massa, baik cetak maupun elektronik secara intensif memberitakan berbagai persoalan masyarakat, mulai dari korupsi, kemiskinan, penyebaran penyakit flu burung, busung lapar, dan meluasnya kemiskinan dan pengangguran telah menjadi input penting bagi sistem politik. Sementara pada waktu bersamaan, media massa telah menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai berbagai tindakan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Beberapa tindakan dan kebijakan pemerintah yang disampaikan oleh media massa tersebut memancing diskusi publik selama berhari-hari hingga berbulan-bulan.
Kalangan LSM atau sering juga disebut sebagai NGO/CSO telah menjadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan pada era reformasi. Pada masa Orde Baru, LSM telah menjadi salah satu kekuatan sosial yang penting dalam melakukan kritik terhadap pemerintah ketika kekuatan-kekuatan lain dalam masyarakat diam sebagai akibat represi pemerintahan Orde Baru secara brutal. Dalam artikel yang diberi judul "Indonesia Flexible NGO vs Inconsistent State Control", Yumiko Sakai mengemukakan bahwa pada era tahun 1970-an NGO mulai melakukan kegiatan dengan sungguh-sungguh, dan ini disebabkan empat alasan berikut:
1. meningkatnya kemiskinan di daerah urban dan daerah pedesaan;
2. perubahan lingkungan politik domestik pada era tahun 1970-an;
3. keberadaan kelompok-kelompok strategis masyarakat sebagai pemimpin;
4. aliran dan bantuan finansial dari komunitas-komunitas internasional. Saat ini, tidak kurang dari 12.000 NGO yang tercatat di seluruh Indonesia.
Pada era reformasi, LSM ini semakin mengakar dalam masyarakat dengan perhatian yang beragam. Beberapa di antaranya menaruh perhatian di bidang demokrasi, globalisasi, good governance, pemberdayaan konsumen, media, pertanian, isu-isu lingkungan hidup, korupsi, pemberdayaan perempuan, penyelamatan hewan, penegakan hukum, dan sebagainya. Mereka terlibat aktif memengaruhi kebijakan publik berkenaan dengan bidang-bidang yang mereka tekuni. Mereka terlibat dalam lobi-lobi politik di DPR dan pemerintah agar kepentingan mereka dilindungi dan tujuan- tujuan mereka tercapai melalui sistem politik.
Kekuatan politik LSM ini menjadi signifikan tatkala mereka mempunyai jaringan internasional. Biasanya, mereka dibiayai oleh lembaga-lembaga donor internasional, bahkan banyak juga yang mampu menggalang opini publik di tingkat lokal, nasional, dan internasional. LSM-LSM yang menaruh perhatian dalam pemberdayaan perempuan dan anti kekerasan domestik, misalnya, secara aktif melakukan lobi terhadap struktur-struktur politik formal ketika kebijakan pemerintah dianggap mengancam kelompok- kelompok yang mereka perjuangkan. Meskipun tidak semua LSM mempunyai perilaku dan tabiat yang baik sebagaimana dikeluhkan oleh beberapa pihak, eksistensi mereka sangat penting dalam konteks artikulasi kepentingan sebagai bagian masyarakat sipil yang otonom. Kemunculan kelompok-kelompok LSM ini diharapkan mampu mendorong partisipasi rakyat dalam skala yang lebih luas dalam proses pembuatan, implementasi, dan evaluasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Asosiasi-asosiasi profesi juga mempunyai peran tidak kalah pentingnya dalam proses artikulasi kepentingan. Pada masa Orde Baru, lembaga asosiasi profesi semacam ini menjadi alat korporatisme negara yang relatif efektif dalam mengontrol masyarakat, terutama anggota-anggota profesi. Asosiasi profesi tidak diizinkan mempunyai asosiasi di luar yang direstui oleh pemerintah. Sebagai akibatnya, asosiasi-asosiasi profesi semacam ini tidak memperjuangkan kepentingan profesi dan anggota-anggotanya, tetapi ditujukan untuk membungkam aspirasi yang mungkin berkembang dalam asosiasi.
Semua kondisi ini mengalami perubahan sejak reformasi dicanangkan tahun 1998. Para profesional diizinkan untuk mendirikan organisasi profesi sesuai dengan yang mereka inginkan, dan setiap profesi tidak harus hanya terdiri atas satu asosiasi profesi. Oleh karena itu, pada era sekarang ini, kita, misalnya, menemukan lebih dari satu organisasi wartawan di seluruh Indonesia. Padahal, pada masa Orde Baru, hanya PWI yang direstui oleh pemerintah sehingga menjadi satu-satunya asosiasi yang sah bagi para wartawan.
Proses demokratisasi telah membuat organisasi-organisasi ini berani menyuarakan hak-haknya. PGRI sebagai salah satu organisasi guru yang berdiri sejak pemerintahan Orde Baru telah menyuarakan hak-hak guru. Bahkan, mereka berani melakukan boikot dalam bentuk mogok mengajar ketika kebijakan pemerintah dianggap merugikan kepentingan-kepentingan mereka. Organisasi-organisasi lain, semacam organisasi petani juga melakukan hal yang kurang lebih sama. Bahkan, asosiasi kepala desa seluruh Indonesia berani mendatangi pemerintah pusat untuk memperjuangkan hak-haknya. Semua fenomena ini mengindikasikan bahwa lembaga-lembaga politik informal telah mempunyai peran penting dalam sistem politik demokrasi. Mereka terlibat dalam proses artikulasi dan agregasi kepentingan yang menjadi input penting sistem politik. Namun, sayangnya, rendahnya responsibilitas sistem politik membuat artikulasi dan agregasi kepentingan ini berujung pada anarkisme massa.
D. Fungsi Stratifikasi social
Stratifikasi sosial adalah dimensi vertikal dari struktur sosial masyarakat, dalam arti melihat perbedaan masyarakat berdasarkan pelapisan yang ada, apakah berlapis-lapis secara vertikal dan apakah pelapisan tersebut terbuka atau tertutup. Soerjono Soekanto (1981: 133) menyatakan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Stratifikasi sosial merupakan konsep sosiologi, dalam arti kita tidak akan menemukan masyararakat seperti kue lapis, tetapi pelapisan adalah suatu konsep untuk menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan secara vertikal menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah berdasarkan
kriteria tertentu.
Pendapat di atas merupakan penggambaran bahwa stratifikasi sosial sebagai gejala yang universal, artinya dalam setiap masyarakat keberadaannya pasti akan didapatkan pelapisan sosial tersebut. Apa yang dikemukakan Aristoteles. Karl Marx adalah salah satu bukti adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat yang sederhana sekalipun. Kriteria jenis kekayaan dan profesi pekerjaan merupakan kriteria yang sederhana, sekaligus menyatakan bahwa dalam masyarakat kita tidak akan menemukan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat selanjutnya menuju masyarakat yang semakin modern dan kompleks, stratifikasi sosial yang terjadi dalam masyarakat akan semakin banyak. Mengapa terjadi stratifikasi sosial? Uraian berikut ini akan menjelaskannya.
Menurut Soerjono Soekanto (1981: 133), selama dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai dan setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargainya, barang sesuatu itu akan
menjadi bibit yang dapat menimbulkan adanya sistem berlapislapis yang ada dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai dalam masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama, atau mungkin juga keturunan dari keluarga yang terhormat. Terjadinya stratifikasi sosial dalam masyarakat disebabkan sesuatu yang dihargai dalam masyarakat jumlahnya terbatas, akibatnya distribusinya dalam masyarakat tidak merata.
E. Fungsi Input Sistem Politik Indonesia
Sistem politik di Indonesia merupakan kesatuan atau kolektivitas seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan negara Indonesia, termasuk di dalamnya proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi, dan penyusunan skala prioritasnya. Tujuan sistem politik Indonesia termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Input dalam sistem politik dibedakan menjadi dua, yaitu tuntutan dan dukungan. Tuntutan dalam hal ini muncul sebagai konsekuensi dari kelangkaan atas berbagai sumber yang langka dalam masyarakat atau kebutuhan masyarakat yang alokasinya belum merata; salah satu wujud kelangkaan tersebut adalah kebijakan. Dukungan dapat diartikan sebagai sebuah upaya yang dilakukan masyarakat untuk mendukung keberadaan sistem politik agar tetap terus berjalan. Output dalam sistem politik meliputi keputusan dan tindakan. Keputusan dalam hal ini dimaksudkan pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan yang dilakukan sesuai dengan tuntutan atau dukungan yang diajukan masyarakat. Adapun tindakan dimaksudkan implementasi konkret atau tindakan nyata yang dilakukan pemerintah atas keputusan yang telah dibuat dan disepakati.
Fungsi input sistem politik Indonesia meliputi:
1. sosialisasi politik;
2. rekrutmen politik;
3. artikulasi kepentingan;
4. agregasi kepentingan;
5. komunikasi politik.
1. Artikulasi Kepentingan
Artikulasi kepentingan merupakan usaha yang dilakukan seseorang atau kelompok masyarakat agar kepentingan serta segala keinginannya dapat dipenuhi secara memuaskan. Cara yang biasa dilakukan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka adalah dengan mengartikulasikan semua kepentingannya pada badan politik pemerintah yang memiliki wewenang untuk membuat keputusan atau kebijakan, biasanya kepentingan itu disampaikan melalui wakil-wakil partai politik yang duduk dalam Dewan Perwakilan yang dapat menyampaikan dan memperjuangkan kepentingan massa pendukungnya.
2. Agregasi Kepentingan
Agregasi kepentingan merupakan sebuah proses meng- agregasikan kepentingan-kepentingan yang telah diartikulasikan oleh kelompok kepentingan, lembaga-lembaga, atau organisasi- organisasi lainnya. Agregasi kepentingan dalam sistem politik di Indonesia berlangsung dalam diskusi lembaga legislatif. DPR dan Presiden memiliki hak untuk mengesahkan Undang-Undang sebab kedudukan DPR dan Presiden dalam agregasi kepentingan adalah sama, yaitu kedua lembaga ini berhak untuk menolak RUU. DPR berupaya merumuskan semua tuntutan dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya.
3. Komunikasi Politik
Komunikasi politik mengacu pada cara sistem menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang menyusun sistem politik. Komunikasi politik terjadi antara pemerintah dan masyarakat jika ada kebijakan pemerintah yang perlu disampaikan atau disosialisasikan kepada masyarakat dengan tujuan kebijakan itu akan mendapat dukungan dari masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk tatap muka atau melalui media massa. Yang juga berperan penting dalam komunikasi politik adalah media massa yang berfungsi menyuarakan suara pembangunan dan program- program kerja pemerintah serta menyuarakan ide-ide politik.
F. Fungsi Output sistem politik
Fungsi Output sistem politik meliputi sebagai berikut.
1. Fungsi pembuatan kebijakan
Pembuatan kebijakan dalam hal ini terbentuk berdasarkan tuntutan dan dukungan serta beragam pengaruh lingkungan yang ada. Pembuatan kebijakan meliputi pengonversian rancangan undang-undang menjadi undang-undang atau peraturan lain yang sifatnya mengikat yang menjadi kebijakan umum. Pembuatan kebijakan ini dilaksanakan oleh lembaga legislatif yang meliputi DPR, DPRD I, DPRD II, dan DPD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi daerah.
2. Fungsi penerapan kebijakan
Penerapan kebijakan dalam hal ini merupakan penerapan aturan umum undang-undang dan peraturan lain ke tingkat warga negara. Hal ini dimaksudkan agar sebuah lembaga melakukan tindakan administrasi untuk mengimplementasikan peraturan yang telah dibuat ke ranah publik. Fungsi penerapan kebijakan dilaksanakan oleh badan eksekutif yang meliputi dari pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah.
3. fungsi ajudikasi kebijakan
Ajudikasi kebijakan dalam hal ini merupakan pengawasan jalannya penerapan undang-undang di kalangan warga negara. Dalam hal ini ada lembaga khusus yang melakukan pengawasan dan menyelesaikan persengketaan dalam hal pembuatan dan pelaksanaan peraturan. Fungsi ajudikasi kebijakan dilaksanakan oleh badan peradilan yang meliputi MA, MK, Komisi Yudisial, serta badan-badan kehakiman.
G. Keterkaitan Kepentingan Antarsistem
Pelaksanaan sistem politik suatu negara nasional tidak dapat dihindarkan dari sistem negara nasional lainnya. Bahkan, terjadi keterkaitan kepentingan antarnegara nasional bersangkutan. Untuk itu, proses komunikasi yang berlangsung tidak lagi berada dalam skala lokal, namun telah bergeser ke skala yang lebih luas dan mengaitkan berbagai kepentingan negara nasional lainnya. Hal ini berarti bahwa proses komunikasi telah memasuki wilayah sistem negara lain sehingga simbol-simbol yang dipertukarkan berkaitan dengan berbagai kepentingan negara-negara bersangkutan.
Dalam komunikasi internasional terjadi proses saling meyakinkan atau saling menumbuhkan pengertian. Walaupun dalam proses tersebut berlangsung aktivitas saling memengaruhi, sifatnya lebih komplementer. Tiap-tiap negara telah menginterpretasikan kepentingan nasional berdasar kepentingan lokal sehingga simbol- simbol yang diangkat dalam komunikasi internasional pada hakikatnya merupakan interpretasi dari kepentingan lokal.
Dalam komunikasi internasional kecenderungan interaksi lebih dipengaruhi oleh kebijaksanaan pemerintah untuk memenuhi kepentingan negara. Bahkan, wujud antarnegara cenderung lebih terarah pada hubungan politik yang dikembangkan daripada hubungan lainnya, seperti ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain. Rachmadi dalam Jalaluddin Rachmat dengan judul buku Komunikasi dan Informasi dalam Percaturan Internasional menyatakan bahwa hubungan politik pada hakikatnya adalah hubungan diplomatik atau disebut juga "Public Diplomacy" yang dijadikan instrumen (ed.) untuk memperjuangkan kepentingan negara nasional.
Dalam kaitan hubungan diplomatik Arthur Hoffman dalam bukunya International Communication and the New Diplomacy menyatakan bahwa hubungan diplomatik berkait hubungan antara pemerintah atau hubungan secara pribadi atau kelompok, baik langsung memengaruhi pendapat, sikap dan perilaku yang berada pada kebijaksanaan luar negeri pemerintah.
Disadari atau tidak, pada prinsipnya komunikasi yang melintas batas negara atau batas wilayah sistem politik negara lain merupakan pelanggaran atas kedaulatan (souvereignity) negara bersangkutan. Oleh karena itu, terhadap terpaan ini perlu adanya suatu pengaturan secara bijak dari negara bersangkutan.
Istilah yang digunakan Astrid terhadap terpaan negara nasional luar terhadap negara nasional dalam disebut komunikasi lintas budaya (cross cultural communication). Terobosan budaya terhadap negara lain disebut juga "a cross of frontiers" yang akan melibatkan atribut-atribut negara dengan berbagai aspek yang melekat pada negara bersangkutan.
Menurut Astrid, "cross cultural communication" biasanya mempunyai komunikan kelompok besar (large group). Adapun bentuk komunikasi diselenggarakan oleh pejabat-pejabat tinggi suatu negara dengan menggunakan media massa untuk mencapai khalayak lebih luas.
Selanjutnya, Astrid menyatakan komunikasi antar dan lintas budaya, yaitu sebagai berikut.
Setiap kelompok kebudayaan menerima pesan dari pola asing umumnya, keadaan politik ekonomi dan sosial negaranya,
Kelompok kebudayaan bukan merupakan kelompok yang terasing (ed.) lagi, tetapi terjadi hubungan dengan kelompok lain (cultural contact), baik dalam bidang nasional maupun internasional; komunikasi antar dan lintas budaya menitikberatkan proses komunikasi, efektivitas, dan akibat suatu pesan dari segi kontak budaya.
Dalam proses komunikasi, semua berita yang disajikan, diserikan dan disaring oleh pembanding informasi. Uraian ini memberikan gambaran bahwa "cross cultural communication" cenderung ke arah kegiatan propaganda pejabat negara terhadap penduduk negara lain agar tercipta khalayak lebih luas.